Kamis, 30 April 2015

UU No. 36 Th 1999 Telekomunikasi Pembahasan Pasal 44 dan 49

UU No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Pasal 44 Ayat 2 :

d. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;

e.    Melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan

atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;



Pemeriksaan alat dan saksi diperlukan untuk menindaklanjuti kasus tindak pidana dibidang telekomunikasi contohnya pada kasus Indosat :

Putusan Mahkamah Agung terhadap mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dipertanyakan banyak pihak. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan adanya penggunaan frekuensi 2,1 GHz secara tidak sah yang dilakukan IM2. Namun, menurut anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, IM2 yang merupakan penyelenggara jasa internet memang semestinya tidak diwajibkan memiliki izin menggunakan frekuensi dan membayar BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi.

Menurutnya, dakwaan terhadap Indar dan IM2 cenderung mengabaikan regulasi yang menjadi payung hukum bagi industri telekomunikasi dan turunannya. Yaitu, Undang-Undang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dalam dakwaan Tipikor yang menjerat IM2 disebutkan, terjadi perbuatan melawan hukum (PMH) yang merugikan keuangan negara. Alasannya, karena IM2 tidak membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi. Faktanya, kata Nonot, tidak ada PMH yang menyalahi regulasi telekomunikasi karena semua sesuai aturan dalam UU, PP dan Permen. (baca: Kasus IM2 yang Memantik Resah).



“Apalagi kewajiban membayar BHP yang seharusnya memang tidak perlu dibayar. Sebab, itu menjadi kewajiban PT Indosat Tbk selaku penyelenggara jaringan. Bukan IM2 yang bertindak sebagai penyelenggara jasa,” tegasnya.



Menurut Nonot, jika memang ada pelanggaran yang dilakukan IM2, hal ini bisa jadi sengketa regulasi. Bukan berarti harus dialihkan ke tipikor. Sebab, jika pemahaman frekuensi dan bandwith yang kadung salah justru dianggap kebenaran, hal serupa bisa terjadi pada industri lain. Misalnya, TV Digital yang juga harus bayar BHP Frekuensi.



Untuk itu perlu dilakukan penindak lanjutan karena adanya dua putusan mahkamah agung yang saling bertentangan menyebbkan kasus menjadi alot dan berlarut-larut. Untuk itu dibutuhkan saksi dan Peraturan yang jelas mengenai kewajiban membayar BPH agar keputuhan hukum tidak merugikan negara maupun pihak tengsangka yaitu mantan Direktur Utama PT. IM2.



Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 20 dijelaskan :

Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran,

dan penyampaian informasi penting yang menyangkut :

a.  keamanan negara;

b.  keselamatan jiwa manusia dan harta benda;

c.  bencana alam;

d.   marabahaya; dan atau

e.  wabah penyakit.



Salah satu contohnya adalah penyalahgunaan hak siar televisi untuk kepentingan pribadi. Tayangan siaran langsung pernikahan pasangan selebritas Raffi Ahmad dengan Nagita Slavina dianggap melecehkan frekuensi untuk penonton Indonesia. Lembaga inisiatif pemantau tayangan televisi Indonesia, Remotivi, lewat keterangan persnya menyebutkan bahwa siaran 14 jam sehari selama dua hari berturut-turut menyiarkan rangkaian pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina adalah penyalahgunaan kekuasaan dalam mengelola frekuensi publik oleh Trans TV.



Remotivi mencatat, Trans TV sudah menampilkan segmen live eksklusif bertajuk Menuju Janji Suci di dua tayangan regulernya, Insert! dan Show Imah sepanjang 6-15 Oktober. Puncak dari hajatan ini adalah ditayangkannya proses pernikahan tersebut secara langsung selama dua hari dua malam pada 16-17 Oktober, sejak pukul 08.00 hingga 22.00.



"Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) pada mukadimahnya menyebutkan, "…agar pemanfaatan frekuensi radio sebagai ranah publik yang merupakan sumber daya alam terbatas dapat senantiasa ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat sebesar-besarnya".



Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak cepat dengan memberikan teguran tertulis kepada Trans TV. Dalam keterangan yang dimuat di situs KPI pada Jum`at (17/10), Ketua KPI Pusat Judhariksaw menilai durasi itu tidak wajar serta tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi, serta menjadi pelanggaran atas perlindungan kepentingan publik.



KPI memutuskan bahwa penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pasal 11 ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 pasal 11 ayat (1). Trans TV mendapat sanksi berupa teguran tertulis.



Selain itu, KPI meminta Trans TV tidak menayangkan kembali (re-run) serta tidak mengulangi kesalahan serupa di kemudian hari. Mereka juga mengingatkan bahwa frekuensi televisi adalah milik publik yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat banyak.



Kasus ini tentu sangat bertentangan dengan pasal 20 UU No 36 tahun 1999 mengenai prioritas penyiaran. Namun pihak KPI belum melayangkan sanksi yang sesuai dengan pasal 49 diatas yaitu denda administrasi sebanyak Rp. 200.000.000, KPI hanya melayangkan surat teguran tertulis supaya pihk televisi tidak menayangkan kembali dan tidak mengulangi dikemudian hari. Namun dengan sanksi yang seperti ini ada kemungkinan pihak stasiun televisi melakukan hal serupa untuk keperluan selebritas lainnya.





Sumber :

http://www.gatra.com/entertainmen/tv/80365-tayangan-pernikahan-raffi-nagita,-penyalahgunaan-frekuensi-publik.html

http://www.varia.id/2015/02/05/dua-putusan-mahkamah-agung-yang-saling-bertentangan/

http://rainzacious.blogspot.com/2013/06/uu-no36-tentang-telekomunikasi-azaz-dan.html?m=1




Jumat, 17 April 2015

Kode Etik Perawat Nasional

KODE ETIK PERAWAT DAN PROFESI
Tujuan utama sebuah profesi seperti perawat adalah mendayagunakan keahlian yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat. Namun tidak jarang seorang perawat salah kaprah dalam orientasi dan tujuan tersebut. Oleh karena itu perlu perlu pemahaman mengenai kode etik.

Kode etik (Burhanuddin, 2000) adalah sistem norma, nilai, dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, serta apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Untuk perawat di Indonesia memiliki kode etik yang dikenal Kode Etik Perawat Nasional Indonesia. Kode Etik Perawat Nasional Indonesia (Putri, 2011) adalah aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas/ fungsi perawat.
Ketaatan perawat terhadap Kode Etik Perawat Nasional Indonesia merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa, dan perilaku perawat yang terbentuk dari masing-masing individu perawat dan tidak ada unsur paksaan. Melanggar kode etik tersebut maka akan merusak profesi perawat dan merugikan diri sendiri.
Berikut adalah kode etik keperawatan yang dikeluarkan oleh DPP PPNI (PPNI, 2000). Salah satunya Kode Etik Perawat dan Profesi :
a. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
b. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi keperawatan
c. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.


Daftar Pustaka

Burhanuddin. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Ismani, Nila. 2001. Etik Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Putri, Trikaloka H. dan Achmad Fanani. 2011. Etika Profesi Keperawatan. Yogyakarta: Citra pustaka.
PPNI. 2000. Kode Etik Keperawatan Lambang Panji PPNI dan Ikrar Keperawatan. Jakarta: Pengurus Pusat PPNI.