Sabtu, 05 November 2011

Nasib Petani Indonesia

Indonesia merupakan negeri terkaya didunia dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Menurut ICID (2005) Indonesia berada di peringkat 9 dalam hal kepemilikan lahan persawahan. Walaupun rasio antara kepemilikan areal sawah dengan jumlah penduduknya, Indonesia 10 kali lipat lebih kecil dibandingkan dengan India dan China. Indonesia dengan jumlah penduduknya sekitar 220 juta (2000) hanya memiliki 7,56 juta ha. Sedangkan India dengan jumlah penduduk 1 Miliar (2000) memiliki 57 juta ha lahan persawahan dan China dengan jumlah penduduk 1,3 Miliar (2000) memiliki 55 juta ha lahan pertanian. 

Yang patut kita garis bawahi, semua lahan itu (Di China & India) adalah sawah irigasi alias bukan sawah tadah hujan dsb. Hal mana, bila kita lihat dari tabel diatas, produktivitasnya tertinggi dibandingkan dengan jenis sawah lain (5 kali lipat lebih). Akan tetapi bila dibandingkan dengan selain kedua Negara itu, dibandingkan Singapura misalnya, hal mana hanya memiliki luas wilayah 699.3 kilometer persegi (69.930 ha). Maka, hanya dengan membandingkan luas lahan pertaniannya saja, Indonesia memiliki 100 kali lipat luas keseluruhan wilayah Negara tersebut. Artinya, untuk mencapai swasembada pangan, bukanlah suatu target yang susah. Bahkan bisa dikatakan, hal itu harus menjadi hal yang lumrah. Kelumrahan disini bisa disejajarkan dengan kelumrahan warga Indonesia yang tidak meludah didepan orang. 

Kelumrahan anak muda berjalan membungkuk bila berjalan dihadapan orang tua di Yogyakarta, Solo, khususnya dan Orang Jawa pada umumnya. Sehingga, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, tidaklah aneh jika harus ada yang disalahkan. 

Misalnya kelumrahan berjalan dihadapan orang tua di Jawa itu, bila hal itu tidak dilakukan, maka tidaklah aneh akan ada yang menyalahkan Sekolahnya (cth : tidak aneh jika akan ada yang mengatakan “sekolah macam apa, kok hanya bisa menghasilkan anak tidak tahu sopan santun seperti itu”), Orang Tuanya Cth:”Orang tuanya pasti tidak mengajarinya sopan santun” dan lain sebagainya. Begitu pula dengan swasembada pangan di Indonesia, bila hal itu tidak tercapai/terjadi, adalah sangat wajar bila ada yang harus disalahkan, dan yang paling empuk adalah pemerintah. 

Walaupun mungkin pihak pemerintah dengan mudah akan menyalahkan kondisi Alam.
Banyak alasan bila sasaran yang paling empuk bagi tidak tercapainya swasembada pangan adalah pemerintah. Beberapa diantaranya adalah tugas dan wewenang yang lebih besar dalam mensinergikan semua potensi SDM dan SDA untuk mencapai hal ini (Swasembada pangan).

Namun, bila kita perhatikan kebijakan-kebijakan perekonomian Indonesia pasca reformasi 1998, masyarakat petani, hal mana merupakan masyarakat mayoritas di Indonesia, ditinggalkan. Sejak masa itu hingga sekarang, kita tidak asing mendengar Industrialisasi Indonesia dalam rangka menghadapi era globalisasi dengan meniru gaya industrialisasi Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea. Dengan alasan agar kita bisa sejajar dengan Negara-negara itu. Paradigma tersebut, bukan suatu kesalahhan yang mutlak bila kebijakan yang ada tidak melupakan sektor Industri yang Ideal untuk Indonesia (Pertanian).

Sejak reformasi hingga sekarang, Indonesia bisa dikatakan tidak melihat lagi potensi itu. Terbukti dengan dalam kurun 10 tahun lebih Indonesia tidak membangun satu pun bendungan untuk mendukung pertanian. Dan dalam kurun waktu itu pula Indonesia tidak berhasil mencapai swasembada pangan. Kelumrahan yang seharusnya terjadi tetapi dalam waktu 10 tahun lebih tidak tercapai. Makanya, tidaklah aneh jika hal itu tercapai, banyak yang berebut mengklaimnya sebagai suatu prestasi pihak tertentu.

Layaknya anak yang tidak tahu sopan santun menjadi sangat sopan, maka adalah wajar jika ada yang mengklaim bahwa itu suatu prestasi. Tapi untuk kasus ini tidak akan berebut deh. Dan yang paling aneh, ketika penulis surfing di internet, terdapat data bahwa Indonesia mengimpor beras dari 

Yah seperti itulah nasib petani Indonesia, “sendirian” memikirkan bagaimana mendapatkan pupuk urea, “sendirian” memikirkan bagaimana menyuplai air untuk sawahnya, “sendirian” memikirkan cara meningkatkan harga gabah dan lain sebagainya. Akan tetapi, hasil dari kesendiriannya itu, akan diklaim oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesendiriannya.

 Rekomendasi “konkret” kebijakan itu :
1. Konversikan semua sawah di Indonesia menjadi sawah irigasi,
dengan cara :
  • Membangun bendungan sebanyak-banyaknya, bahkan bila perlu tidak membiarkan setetes air sungai pun mengalir ke laut selain untuk persawahan. Dan ini juga bisa menanggulangi banjir dan kekeringan.
  • Membuat sumur-sumur artesis

2. Akses luas terhadap permodalan untuk petani
3. Akses luas terhadap informasi tentang pertanian
  • Mengadakan penyuluhan-penyuluhan
  • Mendirikan Pendidikan dengan output siswa/mahasiswa yang siap terjun dalam bidang pertanian. Misalkan : SMK Pertanian (bukan hanya SMK otomotif dll)

4. Membangun Industri dengan bahan baku dari produk pertanian, bukan hanya memproduksi pesawat terbang, mobil, kereta api dll.



Sumber  : http://www.raharjacyber.net/about-us-2/menulis/63-opini/42-nasib-petani-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar